Rabu, 14 April 2010

| |
0 komentar
  PENTINGNYA TAKSONOMI DAN KONSERVASI






Disusun oleh : 
ADNAN ANSHORI                07017006


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN

YOGYAKARTA

2009




PENDAHULUAN
Keterpurukan bangsa Indonesia yang terjadi selama ini diantaranya disebabkan karena kesalahan dalam mengelola potensi kekayaan alam terutama keragaman sumber daya hayatinya (biodiversitas). Modal dasar yang dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa berupa keragaman hayati tidak dikelola dan dimanfaatkan dengan baik sehingga tidak memperoleh manfaat maksimal dalam pemenuhan kebutuhan hidup bangsa.

Cagar alam sebagai salah satu kawasan konservasi memiliki fungsi pokok sebagai pengawetan keanekaragaman hayati dan wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan. Perlindungan cagar alam banyak mengalami hambatan yang disebabkan oleh pembatasan akses, sehingga memicu konflik kepentingan antara pengelola kawasan dengan penduduk (Yunus, 2005).

Begitu banyak potensi alam Indonesia yang melimpah tidak tersentuh, namun tak sedikit pula penduduk yang memderita kelaparan, kekurangan gizi dan lain-lain. Sesuatu hal yang seharusnya tidak harus terjadi jika kita sebagai penerus bangs dapat lebih giat untuk mencari ilmu guna menunjang pengolahan potensi alam Indonesia.

Cagar alam yang seharusnya dapat sebagai penyangga system kehidupan, tidak dijalankan sebagaimana mestinya karena kepentingan manusia itu sendiri. Akibatnya kerusakan hayati banyak terjadi, jika kesetimbangan alam sudah hilang akibatnya banyak terjadi bencana yang menimpa bangsa ini. Banjir di musim penghujan, kekeringan dimusim kemarau kini telah menjadi hal yang biasa di umi pertiwi ini

PENTINGNYA TAKSONOMI DAN KONSERVASI TERHADAP BIODIVERSITAS INDONESIA


Indonesia sebagai salah satu dari tiga negara megabiodiversity memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, terdiri dari 11 persen spesies tumbuhan dunia, 10 persen spesies mamalia, dan 16 persen spesies burung (World Resources,2000-2001 dalam FWI dan GFW, 2001). Indonesia adalah negara subur makmur, disinari matahari sepanjang tahun dan curah hujan yang cukup, namun tidak memiliki prestasi dalam aspek produk dan iptek berbasis sumber daya hayati. Sangat ironis nampaknya, padahal sangat banyak potensi yang dapat di peroleh dari suber daya hayati Indonesia.

Potensi Biodiversitas Indonesia

Sebagai gambaran kasar tentang potensi biodiversitas dalam hal ini hanya dibahas beberapa contoh, misalnya jamur (cendawan) dan mangrove.

Jamur
Secara umum jamur adalah sebagai bahan pangan bergizi tinggi namun beberapa jenis bahkan ada yang berkhasiat obat dan sebagai bahan nutrisitika. Jamur yang terbesar diproduksi di seluruh dunia saat ini adalah champignon (Agaricus), Tiram (Pleurotus) dan Shiitake. Diantara negara-negara produsen jamur di dunia, China adalah produsen jamur terbesar terutama jamur eksotik seperti Shiitake (Aryantha, 2005).

Tahun 2004 pasar ekspor jamur China sudah mencapai 137 negara di dunia dengan nilai ekspor mencapai US$800 juta. Indonesia, meskipun merupakan negara dengan biodiversitas darat nomor 2 di dunia dengan iklim yang ideal, bahan baku berlimpah dan jumlah tenaga kerja yang besar, masih mengimpor jamur dari China dengan nilai 55,5 miliar rupiah per tahun. Sementara, data BPS menginformasikan bahwa nilai ekspor jamur Indonesia dalam periode 2000-2003 hanya berkisar di bawah 4 juta $US per tahun (Dimyati, 2005).


Jamur dikenal memiliki nilai nutrisi yang sangat baik sebagai bahan pangan. Korelasi tingkat kesehatan masayarakat dan umur harapan hidup masyarakat tampak ada kaitan dengan tingkat konsumsi jamur. Jepang termasuk bangsa yang memiliki harapan hidup paling tinggi di Asia (di atas 80 tahun) adalah pengkonsumsi jamur yang sangat besar, yang pada tahun 2000 mencapai 109.281 ton untuk jamur Shiitake sajaTercatat pada tahun 2004 Jepang mengimpor jamur dari China sebesar 87.722.085 kg dengan nilai U$ 263.106.855 (Tabel-6). Meskipun termasuk penghasil jamur yang besar juga, namun karena tingginya tingkat konsumsi jamur masyarakat Jepang, tidaklah mengherankan Jepang merupakan negara pengimpor jamur terbesar dari China. Tingginya animo masyarakat Jepang dalam mengkonsumsi jamur terutama Shiitake adalah karena keberadaan nilai gizi dan potensi kesehatan jamur Shiitake termasuk sebagai anti kanker (Yap, et al., 2004 dan Kumar & Lee, 2004).

Berbagai jenis jamur lokal memiliki potensi tinggi untuk dikembangkan sebagai produk pangan dan nutrisitika. Salah jenis jamur yang dibudidayakan dan kembangkan sampai menjadi produk adalah dari jenis Ganoderma tropicum (Aryantha, 2005). Jamur ini telah dibandingkan kandungan senyawa aktifnya dengan jamur Ganoderma lucidum asal China, ternyata memiliki kadar yang tidak berbeda bahkan untuk senyawa triterpen tertentu cenderung lebih tinggi.

Mangrove
Manfaat utama hutan mangrove di kawasan pesisirdan estuaria adalah untuk mencegah erosi, penahan ombak, penahan angin, perangkap sedimen dan penahan
intrusi air asin dari laut. Peranan vegetasi mangrove di dalam lingkungan biologi adalah sebagai tempat pemijahan dan sebagai tempat asuhan bagi ikan dan biota laut serta habitat berbagai jenis burung (Sukardjo, 1985).

Secara fisik hutan mangrove berfungsi sebagaiperedam hempasan gelombang. Sistem perakarannyadapat berperan sebagai perangkap sediment dan pemecah gelombang. Hal ini dapat terjadi apabila didukung oleh formasi hutan mangrove yang belum terganggu atau kondisinya masih alami. Kerapatan hutan mangrove yang cenderung menurun maka fungsinya sebagai peredam gelombang juga akan cenderung menurun (Tjardhana dan Purwanto, 1995). Sistem perakaran mangrove dapat mengikat dan menstabilkan substrat di garis pantai sehingga garis pantai tetap stabil, akibatnya badan pantai akan terus meninggi. Penanaman dan perlindungan mangrove merupakan salah satu sistem pelindung kestabilan garis pantai secara alami agar tidak mengalami abrasi sehingga akan mendukung proses ekologi di kawasan pesisir. Menurut Davie dan Sumardja (1997), gelombang dan arus pada daerah pantai dapat menyebabkan abrasi dan perubahan struktur hutan pantai di kawasan pesisir. Gilman et al. (2006) menambahkan, hutan mangrove dapat menjaga kestabilan garis pantai dari hantaman gelombang, sehingga pantai tidak terjadi erosi yang disebabkan oleh pasang surut dan gelombang.

Vegetasi mangrove di kawasan penelitian pesisir timur Aceh disusun oleh 11 jenis. Keragaman jenis mangrove pada tahap pertumbuhan pohon dan pancang tergolong rendah, sedangkan semai tergolong sedang. R. mucronata lebih mendominasi kawasan penelitian pada tiga tahapan pertumbuhan mangrove. Tegakan mangrove di kawasan penelitian mampu memecahkan gelombang tsunami hingga 5 m (Suryawan Feri,2007).

Contoh pemanfaatan biodiversitas lain yang terkait dalam pemenuhan kebutuhan pokok manusia adalah dalam dunia pertanian dan perkebunan.

Penyebab penurunan dan kerusakan biodiversitas

Salah satu penurunan biodiversitas adalah karena adanya invansi besar dari suatu spesies yang mangakibatkan penurunan dan kepunahan komoditas spesies yang lain. Dalm jurnalnya (Haryanto, 1997) meneliti invansi langkap (Arenga obtusifolia) di Taman Nasional Ujung kulon, hasilnya secara nyata akan menurunkan keanekaragaman hayati, baik tumbuhan maupun satwa liar.

Kerusakan yang di lakukan oleh manusia itu sendiri, akibat dari keserakahannya gun memenuhhi kebutuhan hidup. Yang marak sekali terjadi adalah perambahan hutan yang tidak terkendali, misalnya yang terjadi di pulau di Kalimantan dan Sumatra. (Musfarayani, 2007) kerusakan hutan dikalimantan mencapai 5 juta ha (data ini diambil dari Kepala BadanPengelola dan Pelestari Lingkungan Hidup Daerah (BPPLHD), Kalimantan Tengah) di estimasikan akibat kerusakan tersebut terjadi penurunan salah satu jenis spesies yang dalam hal ini adalah orang hutan yang tingkat penurunannya mencapai 1000 ekor.

Penyebab lainya adalah bencana alam yang terjadi secara alami, pencemaran/polusi tanah perairan maupun udara. Eksploitasi jenis tertentu secara besar-besaran yang mengakibatkan kerusakan pada daerah tertentu.


Manfaat konservasi dan pentingnya taksonomi dalam biodiversitas

Untuk mempermudah mempelajari biodiversitas tumbuhan Indonesia diperlukaan adanya pengklasifikasian. Yang di maksudkan agar biodiversitas dapat dimanfaatkan seefektif mungkin, Salah satunya adalah dengan konservasi. Konservasi bertujuan agar biodiversitas tidak mengalami kerusakan yang mengakibatkan rusaknya suatu ekosistem ataupun punahnya suatu spesies. Kerusakan biodiversitas dapat juga berpengaruh pada manusia, seperti kelaparan, gizi buruk, kematian manusia akibat diterkam (dimakan) oleh binatang buas yang ekosistemnya telah dirusak oleh manusia itu sendiri dan lain-lain. Laporan media masa mengatakan bahwa lebih dari 50% orang Indonesia adalah mengalami kelaparan terselubung istilah lain dari kekurangan gizi (http://www.kbi. gemari.or.id).

Salah satu upaya konservasi adalah dengan didirikan cagar alam. Cagar alam sebagai salah satu kawasan konservasi memiliki fungsi pokok sebagai pengawetan keanekaragaman hayati dan wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan. Perlindungan cagar alam banyak mengalami hambatan yang disebabkan oleh pembatasan akses, sehingga memicu konflik kepentingan antara pengelola kawasan dengan penduduk (Yunus, 2005).
Konservasi yang kuat didengungkan sekarang ini, sangat membutuhkan peran ahli takson, selain kebutuhan identifikasi taksonomi juga menyediakan reliable data tentang spesies terbaru, menyediakan data terbaru mengenai informasi habitat, distribusi dan kelimpahan serta tentunya tren populasi sepanjang waktu tertentu.
Kenyataannya, taksonomi telah mengalami impedensi (kendala), dimana terdapat hambatan dan tantangan, yang jika tidak diatasi akan membuat taksonomi tidak mampu menjalankan fungsinya. Kurangnya pendanaan, kecenderungan isunya tidak semenarik isu konservasi lainnya, menyebabkan regenerasi di dunia taksonom menjadi lambat. Selain itu, akses ke deskripsi asli dari spesimen-spesimen sangat kurang, belum lagi permasalahan terkait besarnya biaya yang dibutuhkan untuk koleksi lapangan dan lain sebagainya.
Beberapa hal yang dilakukan selama ini untuk “mengakali” penalahan yang dalam dari sisi taksonomi, cenderung membuat usaha-usaha konservasi mengalami insuficien infromasi, karena tidak mampu menjelaskan secara detail suatu spesies dan terutama fungsinya di ekosistem, terutama yang dilakukan oleh “parataxonomist’. Demikian pula teknik yang lebih modern melalui DNA “bar-coding”, teknik ini pun membutuhkan pengumpulan data lapangan dan ini berarti juga membutuhkan dana yang besar.
Kurangnya perhatian terhadap taksonomi juga terlihat jelas dalam dunia keilmuwan itu sendiri. Hal yang menyedihkan adalah dalam jurnal-jurnal ilmiah yang besar sekalipun hanya 1% jurnal yang mencover penelitian dari SEA (salah satu pusat dari negara berkembang, dengan keanekaragaman spesies paling besar), dan dari sekian banyak jurnal ilmiah ternama, rata-rata hanya 1 jurnal/tulisan yang membahas tentang spesies/temuan baru (Anonim.2009).
Meskipun semua orang tahu bahwa permasalahan pemenuhan kebutuhan dasar hidup manusia adalah pangan dan sandang, yang tiada lain adalah berasal dari keragaman sumber daya hayati (BIODIVERSITAS) namun masih jarang sekali orang yang tertarik untuk menekuni ilmu taksonomi.

PENUTUP

Pengelolaan biodiversitas (sumber daya hayati) lokal adalah mendesak untuk dilakukan guna memperoleh nilai kemanfaatan yang maksimal untuk kemaslahatan umat manusia secara berkesinambungan. Dalam pengelolaan biodiversitas perguruan tinggi setempat wajib mengambil peran secara proaktif dengan menggandeng semua pihak terkait. Para dosen / peneliti dengan dukungan institusi dan secara institusional semestinya menggunakan strategi penelitian dan pengembangan dengan pendekatan hulu-hilir dengan menjadikan kampus sebagai role of model dalam rangka komersialisasi produk iptek yang dihasilkan. Komersialisasi hasil penelitian dan pengembangan secara optimal akan memberikan output yang signifikan terhadap keberlangsungan aktivitas riset secara mandiri dan berkelanjutan. Disamping itu, para peneliti akan memperoleh reward dan recognition yang memadai dari hasil-hasil penelitian yang berhasil dilisensikan. Materi kuliahpun dapat diperkaya dari hasil-hasil R&D dan akan memotovasi dan menumbuhkan jiwa-jiwa kewirausahaan di kalangan mahasiswa.

Profesi peneliti dan taksonom akan semakin diminati di masyarakat sehingga dapat mempercepat proses kemajuan iptek di negeri ini. Interaksi antara laboratorium kampus dengan masayarakat industri akan semakin intens. Dari interaksi yang intens ini diharapkan dapat memperkuat usaha-usaha kecil menengah bahkan melahirkan perusahaan-perusahaan baru dalam menopang kemandirian industri. Akhirnya, perekonomian yang mandiri, stabil dan kuat akan tercipta sebagai sarana untuk mencapai cita-cita bangsa yakni masyarakat adil dan makmur.


DAFTAR PUSTAKA
Anomin,2009. Taksonomi penting bagi konservasi. http://www.goblue.or.id/taksonomi-penting-bagi konservasi/ 2juni 2009

Aryantha, I.P., 2005, Pengembangan produk kesehatan dari Shiitake, Prosiding Lokakarya Pengembangan Prpoduk Dan Industri Jamur Pangan, BPPT Jakarta 1-2 Agustus 2005

Davie, J. dan E. Sumardja. 1997. The mangrove of East Java: an analysis of impact of pond aquaculture on biodiversity and coastal ecological. Tropical Biodiversity 4(1):1-33.

Dimyati, A., 2005, Kebijakan Deptan dalam Pengembangan Jamur Pangan, Praworkshop Pengembangan Produk dan Industri Jamur Pangan Indonesia, BPPT Jakarta, 1-2 Agustus 2005.

Gilman, E, J. Ellison, and R. Coleman. 2006. Pacific island mangroves in a changing climate and rising sea. United Nation Environment Program and Secretariat of thePacific Regional Environment Program. Regional SeasReports and Studies No. 179: 1-58.

Haryanto.1997. Invasi langkap (arenga obtusifolia) dan Dampaknya terhadap keanekaragaman hayati di taman nasional ujung kulon, jawa barat. Media Konservasi Edisi Khusus, Hal. 95 -100

Musfarayani, 2007. Lima Juta Hektar Hutan Kalteng Rusak, 1.000 Orangutan Kalimantan Musnah. Kahiyu. Volume II - No. 2 

Sukardjo, S., 1985. Laguna dan vegetasi mangrove. Oseana 10 (4):128-137.

Suyawan .F. 2007. Keanekaragaman Vegetasi Mangrove Pasca Tsunami diKawasan Pesisir Pantai Timur Nangroe Aceh Darussalam. B I O D I V E R S I T A S jurusan biologi FMIPA Universitas Syiah Kuala (UNSYIAH), Banda Aceh. Volume 8, Nomor 4 Halaman: 262-265

Tjardhana dan E. Purwanto. 1995. Hutan mangrove Indonesia.Duta Rimba 21: 2-17.

Yap, A.T., S. K. Chandramohan, M. L. N. Mary, 2004, Partially Purified Lentinam from Shiitake Mushroom (Lentinusedodes) still Retain Antitumour Activity, http://www.mushworld.com/medicine/list.asp?cata_id=6500

Yunus, L.2005. “Simbiosis Mutualisme: Masyarakat dan Kawasan CagarAlam.” Prosiding Seminar Nasional Membangun Teluk Bintuni Berbasis Sumberdaya Alam: pp 75-85
Read More

Selasa, 13 April 2010

| |
0 komentar
METABOLISME BAKTERI PEREDUKSI SULFAT

Kelompok fisiologik bakteri pereduksi sulfat, atau juga dinamakan disulfurikan atau bakteri sulfidogen, mempunyai ciri berupa kemampuan untuk memindahkan hydrogen substrat kepada sulfat sebagai aseptor electron terminal dan mereduksi sulfat menjadi sulfide. Proses ini memungkinkan terjadi transport electron: sitokrom c mengambil bagian pada proses ini. Energi diperoleh secara fosforilasi transport electron pada kondisi anaerob.

Karena jenis reduksi sulfat ini secara formal serupa dengan respirasi dengan oksigen sebagai aseptor hydrogen, disebut juga respirasi sulfat atau juga reduksi sulfat disimilatorik. Produk utama reduksi sulfat ini adalah hydrogen sulfida.
8 H + SO42- ------- H2S + 2 H2O + 2 OH-
Sebagian besar dari H2S yang terbentuk alamiah berasal dari reaksi ini. Kalau dibandingkan dengan bakteri pereduksi nitrat maka bakteri pereduksi sulfat merupakan organisme anaerob obligat dan terikat pada kondisi anaerob yang ketat.

Bakteri pereduksi sulfat merupakan kelompok fisiologik yang terciri oleh pembentukan H2S dari sulfat. Sebagai donor hydrogen berfungsi sebagai senyawa-senyawa sederhana berbobot molekul rendah , yang terjadi pada penguraian anaerob biomassa, terutama selulosa: laktat, asetat, propionate, butirat, format, etanol, asam-asam lemak berbobot molekul tinggi, dan hydrogen. Menilik cara pengolahan asam-asam organic dapat dibedakan 2 kelompok yaitu; . Anggota-anggota kelompok pertama mengoksidasi donor hydrogen tidak sempurna dan mengekskresi asetat. Termasuk kelompok ini adalah jenis-jenis species pembentuk spora Desulfotomaculum ( D. nigrificans, D. orientis, dan D. ruminis ) dan spesies yang tidak membentuk spora Desulfovibrio (D. vulgaris, D.sulfuricans, D. gigas, D. thermophilus dan lain-lain).2. Kelompok kedua mencakup spesies-spesies dan jenis-jenis yang mampu tumbuh dengan alcohol, asetat atau asam-asam lemak berbobot molekul tinggi atau benzoate dan malahan secara kemo-ototrof dengan hydrogen atau format. Kedalam kelompok ini termasuk pembebtuk spora ( Desulfotomaculum acetoxidans ) dan juga batang-batang yang tidak terbentuk spora ( Desulfobacter ), kok (Desulfococcus ), sarcina ( Desulfosarcina ) dan bentuk-bentuk benang yang bergerak dengan meluncur (Desulfonema).

Reduksi Sulfat

Hampir senua bakteri, fungus, dan tumbuh-tumbuhan hijau mampu tumbuh dengan sulfat sebagai sumber belerang. Organisme ini memperoleh sulfide yang diperlukan untuk mensintesis asam-asam amino yang mengandung belerang, dengan cara reduksi sulfat secara asimilasi. Langkah pertama sama pada pereduksi sulfat disimilatorik maupun asimilatorik. Kalau pada reduksi sulfat disimilatirik, sulfat yang diaktivasi langsung direduksi, pada reduksi sulfat asimilatorik reduksi sulfat baru terjadi pada langkah aktivasi kedua. Reduksi sulfat didalam sel dimulai dengan aktivasi sulfat yang membutuhkan energy oleh ATP ; oleh ATP sulfurilase ( Sulfat adenilitransferase ) sisa difosfat dari ATP ditukar dengan sulfat;
ATP + SO42- ----- Adenosin-5’-fosfosulfat + PPi
Difosfat dipecahkan oleh difosfatase. Adenosin-5’-fosfosulfat ( APS )merupakan produk dari aktivasi ini. Langkah-langkah selanjutnya berbeda-beda. Untuk reduksi sulfat secara asimilatorik, APS difosforilasi oleh APS-kinase dan ATP menjadi fosfoadenosin fosfosulfat ( PAPS ): baru sulfat yang telah diaktivasi secara rangkap ini akan direduksi melalui sulfit menjadi sulfide. Pada reduksi sulfat secara disimilatorik APS direduksi oleh APS reduktase menjadi sulfit dengan membentuk AMP.

Nampaknya reduksi sulfit menjadi sulfide pada berbagai bakteri dilakukan melalui alur yang berbeda-beda. Oleh sulfit reduktase sulfit langsung direduksi menjadi sulfide dalam langkah enam electron , tanpa pembebesan senyawa-senyawa antara.Pada reduksi jenis ini seperti juga pada reduksi sulfit asimilatorik nampaknya ada keikutserataan senyawa-senyawa porifin-besi umum ( DEsulfovridin, Desulforubidin). Menurut mekanisne kedua ,sulfit direduksi dalam 3 langkah yang terjadi secara berurutan, menghasilkan 3 produk intermediar bebas ( tritionat dan tiosulfat ). Untuk ini dibayangkan bahwa electron-elektron untuk reduksi sulfit disediakan melalui sitokrom ( pada beberapa bakteri sitokrom b dan beberapa bakteri sitokrom c).

Fosforilasi Transport Elektron

Asumsi bahwa ada fosforilasi transport electron pada desulfurikan karena dapat ditunjukkan sitokrom dan protein –protein belerang-besi di dalam dan pada membrane sitoplasma dan ada perolehan energy dalam jumlah besar.Dibandingkan dengan sitokrom lain,sitokrom c mempunyai potensial redoks yang luar biasa (E0 = -205 mV )dan terdapat pada sisi luar membrane atau didalam ruang periplasma.
Jenis-jenis bakteri pereduksi sulfat yang sampai sekarang sudah diteliti benar mempunyai hidrogenase konstitutif ( H2 : sitokrom c3 oksidireduktase ), yang dapat dan mengaktivasi H2 maupun membebaskannya.Beberapa bakteri pereduksi sulfat tumbuh dengan H2 dan sulfat sebagai satu-satunya sumber energy. Kemampuan untuk mereduksi sulfat dengan H 2, dengan memproduksi sejumlah besar H2S tanpa pertumbuhan yang berarti, mungkin merupakan sifat kebanyakan bakteri pereduksi sulfat.
Transport electron dari hydrogen molekul sebagai donor hydrogen dengan mereduksi 1 mol sulfat menjadi 1 mol sulfida nampaknya terkait pada regenerasi 3 mol ATP , 2 mol diantaranya terpakai untuk aktivasi sulfat.

Oksidasi sulfat klasik

Oleh bkteri pereduksi sulfat yang klasik , sebagai contoh Desulfibrio vulgaris, substrat-substrat organic pada akhirnya tidak dioksidasi menjadi H2O dan CO2, tetapi diekskresi sebagai asetat. Bakteri-bakteri ini tidak memiliki siklus asam trikarboksilat yang lengkap. Di antara bakteri yang baru-baru diisolasi terdapat beberapa jenis yang dapat menguraikan asetat, asam-asam lemak berantai panjang dan juga benzoat.

Asimilasi substrat organic

Energi metabolism yang diperoleh dengan fosforilasi transport electron memungkinkan terjadi senyawa-senyawa organic ( asam-asam organic , asam-asam, amino, campuran-campuran kompleks). Banyak stan mampu mensintesis bahan sel dari asetat dan karbon dioksida , apabila hydrogen molekul berfungsi sebagai donor hydrogen. Asimilasi zat-zat organic pada proses oksidasi donor hydrogen anorganik disebut kemolitoheterotrof. Fiksasi CO2 melalui siklus calvin tidak dapat dinyatakan.

Peragian tanpa sulfat

Beberapa desulfurikan juga mampu mengubah laktat atau piruvat tanpa sulfat. Sebagai ganti oksidasi piruvat yang berlangsung sebagai berikut:
4 CH3-CO-COOH + H2SO4------ 4 CH3-COOH + 4 CO2 + H2S
Terjadi sebuah peragian dengan pembentukan H2:
CH3-CO-COOH + H2O------- CH3-COOH + CO2 + H2
Desulfurikan terkenal sebagai peragi potensial karena peragian laktat ini.

Pembiakan dan pengisolasian

Untuk membiakkan bakteri pereduksi sulfat diperlukan larutan biak yang mengandung donor hydrogen tertentu, substrat yang diasimilasi, mineral-mineral dan sulfat, harus diusahakan kondisi anaerob dan potensial redok yang cukup rendah ( E’0 = -200 mV ).

Penyebaran dan peran desulfurikan dalam kerumahtanggaan alam

Bakteri pereduksi sulfat terdapat terutama dalam lumpur kotor, dimana bahan-bahan organic mengalami penguraian anaerob. Desulfurikan nampaknya khusus diadaptasi terhadap asam lemak , asam oksi, alcohol, dan hydrogen peragian yang terjadi pada penguraian tidak sempurna dari karbohidrat. Massa H2S yang dibebaskan dalam alam harus dipandeang sebagai produk akhir respirasi sulfat. Perairan yang tercemar mengandung 104 sampai 106 desulfurikan/ ml, sedangkan lumpur kotor 107/ ml.

Belerang yang layak ditambang ( di Texas, Louisiana dan Meksiko )bukan berasal dari gunung berapi tetapi merupakan endapan belerang biogen dari massa geologic dahulu kala. Dengan mereduksi sulfat air laut dengan limbah organic ( air cucian) dengan pertolongan Desulfovibrio dapat dihasilkan H2S dan dengan demikian belerang jika diperlukan.
Yangmemiliki arti ekonomi yang lebih besar adalah pengkaratan anaerobic dari besi yang dilakukan oleh Desulfovibrio secara tidak langsung. Dalam lingkungan lembab terjadi polarisasi besi pada kondisi anaerobic:

1. Oksidasi besi
4 Fe + 8 H+ ----- 4 Fe2+ + 4H2
Pada keadaaan normal lapisan H2, melindungi besi agar tidak mudah dirusak lebih lanjut. Tetapi kalau ada sulfat dan desulfurikan, maka terjadi depolarisasi katodik, dan besi akan dioksidasi tanpa ada oksigen.
2. Reduksi Sulfat
4 H2 + SO42- ------ H2S + 2 H2O + 2 OH-
3. Pengendapan besi;
4 Fe2+ + H2S +2 OH- + 4 H2O ---- FeS + 3 Fe (OH)2 +6 H+
Penjumlahan 1-3 :
4 Fe + SO42- + 2 H2O + 2 OH+ ---------- FeS + 3 Fe (OH )2

Kerusakan pada pipa-pipa besi yang terjadi denagan cara demikian cukup besar. Kemampuan desulfurikan untuk mengolah asam-asam organic , alcohol, hydrogen bahkan H2 yang terbentuk pada polarisasi besi sebagai donor hydrogen , dimanfaatkan pada biak pengkayaaannya.

Desulfovibrio juga bertanggungjawab untuk kadar H2S yang tinggi pada kedalaman di bawah 200m dari laut hitam dan untuk warna hitam airnya oleh pengendapan besi. Akhirnya dapat dilihat pada cat hitam gondola pada Canale grande di Venesia sebagai tindakan pencegahan terhadap perubahan warna pada cat logam berat yang disebabkan oleh H2S.
Desulfotomaculum ruminis ikut serta pada pembentukan H2S dalam perut besar pemamah biak.

Pembentukan hydrogen sulfide oleh reduksi belerang

Sudah sejak lama diketahui bahwa suspense ragi yang meragikan gula, mengikutsertakan serbuk halus belerang yang dibubuhkan didalam pusaran pereduksian-pereduksian biologic dan menghasilkan H2S. baru saja ditemukan, beberapa bakteri mampu tumbuh dengan elemen belerang sebagai aseptor hidrogen untuk transport electron anaerob.Pada proses ini belerang direduksi menjadi H2S. Peristiwa ini disebut sebagai respirasi belerang.
Yang telah dikarakterisasai sampai sekarang ialah Desulfuromonas acetoxidans . bakteri ini yang bergerak dengan cemeti yang tertancap lateral dapat dibiakkan dan diisolasi dari air laut pada kondisi anaerob dalam larutan mineral yang mengandung asetat dan dicampur dengan serbuk halus belerang. Desulfuromonas acetoxidans mengoksidasi asetat atau etanol menjadi CO2. Desulfuromonas acetoxidans berbeda pada kebanyakan spesies Desulfovibrio , karena mampu mereduksi belerang dan mampu melakukan endo-oksidasi substrat organic. Kebanyakan spesies Desulfovibrio hanya mampu mereduksi sulfat atau sulfit tetapi tidak belerang,dan laktat misalnya hanya dioksidasi dengan membentuk asetat. Desulfuromonas acetoxidans, mengandung suatu sitokrom c7 dengan potensial redok rendah dan suatu 4 Fe-4 S- Protein. Bakteri ini mempunyai enzim siklus asam trikarboksilat.
Bakteri ini dapat hidup dalam asosiasi sintrof dengan bakteri-bakteri belerang hijau fototrof, yang didalam cahaya mengoksidasi H2S menjadi belerang dan memfiksasi CO2.
Referensi :
Schlegel, Hans G.,1994. Mkrobiologi Umum.UGM Press : Yogyakarta.
Read More

Rabu, 23 Desember 2009

| |
0 komentar

Makalah Limbah Udang

POTENSI LIMBAH UDANG SEBAGAI PENYERAP LOGAM BERAT (TIMBAL, KADMIUM, DAN TEMBAGA) DI PERAIRAN
Abstrak
Pencemaran lingkungan perairan yang disebabkan oleh logam-logam berat seperti kadmium, timbal dan tembaga yang berasal dari limbah industri sudah lama diketahui. Untuk menghilangkan bahan pencemar perairan tersebut hingga kini masih terus dikembangkan. Penggunaan biomaterial merupakan salah satu teknologi yang dapat dipertimbangkan, mengingat meterialnya mudah didapatkan dan membutuhkan biaya yang realtif murah sebagai bahan penyerap senyawa beracun dalam air limbah.
Limbah udang yang berupa kulit, kepala, dan ekor dengan mudah didapatkan mengandung senyawa kimia berupa khitin dan khitosan. Senyawa ini dapat diolah dan dimanfaatkan sebagai bahan penyerap logam-logam berat yang dihasilkan oleh limbah industri. Hal ini dimungkinkan karena senyawa khitin dan khitosan mempunyai sifat sebagai bahan pengemulsi koagulasi, reaktifitas kimia yang tinggi dan menyebabkan sifat polielektrolit kation sehingga dapat berperan sebagai penukar ion (ion exchanger) dan dapat berpungsi sebagai absorben terhadap logam berat dalam air limbah.
Pendahuluan
Pembangunan yang pesat dibidang ekonomi disatu sisi akan meningkatkan kualitas hidup manusia, yaitu dengan meningkatnya pendapatan masyarakat, tetapi di sisi lain akan berakibat pada penurunan kesehatan akibat adanya pencemaran yang berasal dari limbah industri dan rumahtangga. Hal ini karena kurangnya atau tidak memadainya fasilitas atau peralatan untuk menangani dan mengelola limbah tersebut.
Salah satu pencemaran pada badan air adalah masuknya logam berat. Peningkatan kadar logam berat di dalam perairan akan diikuti oleh peningkatan kadar zat tersebut dalam organisme air seperti kerang, rumput laut dan biota laut lainnya. Pemanfatan organisme ini sebagai bahan makanan akan membahayakan kesehatan manusia.
Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan maka berkembang pulalah industri-industri. Akibatnya lingkungan menjadi salah satu sasaran pencemaran, terutama sekali lingkungan perairan yang sudah pasti terganggu oleh adanya limbah industri, baik industri pertanian maupun industri pertambangan. Kebanyakan dari limbah itu biasanya dibuang begitu saja tanpa pengolahan terlebih dahulu.
Berbagai metode seperti penukar ion, penyerapan dengan karbon aktif (Rama, 1990) dan pengendapan secara elektrolisis telah dilakukan untuk menyerap bahan pencemar beracun dari limbah, tetapi cara ini membutuhkan biaya yang sangat tinggi dalam pengoperasiannya. Penggunaan bahan biomaterial sebagai penyerap ion logam berat merupakan alternatif yang memberikan harapan. Sejumlah biomaterial seperti lumut (Low et al., 1977), daun teh (Tan dan Majid, 1989), sekam padi (Munaf , 1997), dan sabut kelapa sawit (Munaf, 1999), begitu juga dari bahan non biomaterial seperti perlit, tanah gambut, lumpur aktif dan lain-lain telah digunakan sebagai bahan penyerap logam-logam berat dalam air limbah.
Kulit udang yang mengandung senyawa kimia khitin dan khitosan merupakan limbah yang mudah didapat dan tersedia dalam jumlah yang banyak, yang selama ini belum termanfaatkan secara optimal.
Dengan adanya sifat-sifat khitin dan khitosan yang dihubungkan dengan gugus amino dan hidroksil yang terikat, maka menyebabkan khitin dan khitosan mempunyai reaktifitas kimia yang tinggi dan menyebabkan sifat polielektrolit kation sehingga dapat berperan sebagai penukar ion (ion exchanger) dan dapat berperan sebagai absorben terhadap logam berat dalam air limbah ( Hirano, 1986). Karena berperan sebagai penukar ion dan sebagai absorben maka khitin dan khitosan dari limbah udang berpotensi dalam memcahkan masalah pencemaran lingkungan perairan dengan penyerapan yang lebih murah dan bahannya mudah didapatkan.
Limbah Udang sebagai Material Penyerap Logam Berat
Sebagian besar limbah udang berasal dari kulit, kepala, dan ekornya. Fungsi kulit udang tersebut pada hewan udang (hewan golongan invertebrata) yaitu sebagai pelindung (Neely dan Wiliam, 1969). Kulit udang mengandung protein (25 % - 40%), kalsium karbonat (45% - 50%), dan khitin (15% - 20%), tetapi besarnya kandungan komponen tersebut tergantung pada jenis udangnya. sedangkan kulit kepiting mengandung protein (15,60% - 23,90%), kalsium karbonat (53,70 – 78,40%), dan khitin (18,70% - 32,20%), hal ini juga tergantung pada jenis kepiting dan tempat hidupnya (Focher et al., 1992)
Kandungan khitin dalam kulit udang lebih sedikit dari kulit kepiting, tetapi kulit udang lebih mudah didapat dan tersedia dalam jumlah yang banyak sebagai limbah.
Khitin berasal dari bahasa Yunani yang berarti baju rantai besi, pertama kali diteliti oleh Bracanot pada tahun 1811 dalam residu ekstrak jamur yang dinamakan fungiue. Pada tahun 1823 Odins mengisolasi suatu senyawa kutikula serangga janis ekstra yang disebut dengan nama khitin (Neely dan Wiliam, 1969). Khitin merupakan konstituen organik yang sangat penting pada hewan golongan orthopoda, annelida, molusca, corlengterfa, dan nematoda. Khitin biasanya berkonyugasi dengan protein dan tidak hanya terdapat pada kulit dan kerangkanya saja, tetapi juga terdapat pada trachea, insang, dinding usus, dan pada bagian dalam kulit pada cumi-cumi (Neely dan Wiliam, 1969). Adanya khitin dapat dideteksi dengan reaksi warna Van Wesslink. Pada cara ini khitin direaksikan dengan I2-KI yang memberikan warna coklat, kemudian jika ditambahkan asam sulfat berubah warnanya menjadi violet. Perubahan warna dari coklat hingga menjadi violet menunjukan reaksi positif adanya khitin.
Khitin termasuk golongan polisakarida yang mempunyai berat molekul tinggi dan merupakan melekul polimer berantai lurus dengan nama lain b-(1-4)-2-asetamida-2-dioksi-D-glukosa (N-asetil-D-Glukosamin) (Hirano, 1986; Tokura, 1995). Struktur khitin sama dengan selulosa dimana ikatan yang terjadi antara monomernya terangkai dengan ikatan glikosida pada posisi b-(1-4). Perbedaannya dengan selulosa adalah gugus hidroksil yang terikat pada atom karbon yang kedua pada khitin diganti oleh gugus asetamida (NHCOCH2) sehingga khitin menjadi sebuah polimer berunit N-asetilglukosamin (The Merck Indek, 1976).
Khitin mempunyai rumus molekul C18H26N2O10 (Hirano, 1976) merupakan zat padat yang tak berbentuk (amorphous), tak larut dalam air, asam anorganik encer, alkali encer dan pekat, alkohol, dan pelarut organik lainnya tetapi larut dalam asam-asam mineral yang pekat. Khitin kurang larut dibandingkan dengan selulosa dan merupakan N-glukosamin yang terdeasetilasi sedikit, sedangkan khitosan adalah khitin yang terdeasetilasi sebanyak mungkin.
Khitosan yang disebut juga dengan b-1,4-2 amino-2-dioksi-D-glukosa merupakan turunan dari khitin melalui proses deasetilasi. Khitosan juga merupakan suatu polimer multifungsi karena mengandung tiga jenis gugus fungsi yaitu asam amino, gugus hidroksil primer dan skunder. Adanya gugus fungsi ini menyebabkan khitosan mempunyai kreatifitas kimia yang tinggi (Tokura, 1995).
Khitosan merupakan senyawa yang tidak larut dalam air, larutan basa kuat, sedikit larut dalam HCl dan HNO3, dan H3 PO4, dan tidak larut dalam H2SO4. Khitosan tidak beracun, mudah mengalami biodegradasi dan bersifat polielektrolitik (Hirano, 1986). Disamping itu khitosan dapat dengan mudah berinteraksi dengan zat-zat organik lainnya seperti protein. Oleh karena itu, khitosan relatif lebih banyak digunakan pada berbagai bidang industri terapan dan induistri kesehatan (Muzzarelli, 1986)
Saat ini budi daya udang dengan tambak telah berkembang dengan pesat, karena udang merupakan komoditi ekspor yang dapat dihandalkan dalam meningkatkan ekspor non -migas dan merupakan salah satu jenis biota laut yang bernilai ekonomis tinggi. Udang di Indonesia pada umumnya diekspor dalam bentuk udang beku yang telah dibuang bagian kepala, kulit, dan ekornya.
Limbah yang dihasilkan dari proses pembekuan udang, pengalengan udang, dan pengolahan kerupuk udang berkisar antara 30% - 75% dari berat udang. Dengan demikian jumlah bagian yang terbuang dari usaha pengolahan udang cukup tinggi (Anonim, 1994). Limbah kulit udang mengandung konstituen utama yang terdiri dari protein, kalsium karbonat, khitin, pigmen, abu, dan lain-lain (Anonim, 1994)
Meningkatnya jumlah limbah udang masih merupakan masalah yang perlu dicarikan upaya pemanfaatannya. Hal ini bukan saja memberikan nilai tambah pada usaha pengolahan udang, akan tetapi juga dapat menanggulangi masalah pencemaran lingkungan yang ditimbulkan, terutama masalah bau yang dikeluarkan serta estetika lingkungan yang kurang bagus (Manjang, 1993).
Saat ini di Indonesia sebagian kecil dari limbah udang sudah termanfaatkan dalam hal pembuatan kerupuk udang, petis, terasi, dan bahan pencampur pakan ternak. Sedangkan di negara maju seperti Amerika Serikat dan Jepang, limbah udang telah dimanfaatkan di dalam industri sebagai bahan dasar pembuatan khitin dan khitosan. Manfaatnya di berbagai industri modern banyak sekali seperti industri farmasi, biokimia, bioteknologi, biomedikal, pangan, kertas, tekstil, pertanian, dan kesehatan. Khitin dan khitosan serta turunannya mempunyai sifat sebagai bahan pengemulsi koagulasi dan penebal emulsi (Lang, 1995).
Isolasi khitin dari limbah kulit udang dilakukan secara bertahap yaitu tahap pemisahan protein (deproteinasi) dengan larutan basa, demineralisasi, tahap pemutihan (bleancing) dengan aseton dan natrium hipoklorit. Sedangkan transformasi khitin menjadi khitosan dilakukan tahap deasetilasi dengan basa berkonsentrasi tinggi, seperti terlihat pada gambar 1 (Ferrer et al., 1996; Arreneuz, 1996., dan Fahmi, 1997)
Khitin dan khitosan yang diperoleh dari limbah kulit udang digunakan sebagai absorben untuk menyerap ion kadmium, tembaga, dan timbal dengan cara dinamis dengan mengatur kondisi penyerapan sehingga air yang dibuang ke lingkungan menjadi air yang bebas dari ion-ion logam berat. Mengingat besarnya manfaat dari senyawa khitin dan khitosan serta tersedianya bahan baku yang banyak dan mudah didapatkan maka perlu pengkajian dan pengembangan dari limbah ini sebagai bahan penyerap terhadap logam-logam berat diperairan.
Read More