Disusun oleh :
ADNAN ANSHORI 07017006
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN
YOGYAKARTA
2009
YOGYAKARTA
2009
PENDAHULUAN
Keterpurukan bangsa Indonesia yang terjadi selama ini diantaranya disebabkan karena kesalahan dalam mengelola potensi kekayaan alam terutama keragaman sumber daya hayatinya (biodiversitas). Modal dasar yang dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa berupa keragaman hayati tidak dikelola dan dimanfaatkan dengan baik sehingga tidak memperoleh manfaat maksimal dalam pemenuhan kebutuhan hidup bangsa.
Cagar alam sebagai salah satu kawasan konservasi memiliki fungsi pokok sebagai pengawetan keanekaragaman hayati dan wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan. Perlindungan cagar alam banyak mengalami hambatan yang disebabkan oleh pembatasan akses, sehingga memicu konflik kepentingan antara pengelola kawasan dengan penduduk (Yunus, 2005).
Begitu banyak potensi alam Indonesia yang melimpah tidak tersentuh, namun tak sedikit pula penduduk yang memderita kelaparan, kekurangan gizi dan lain-lain. Sesuatu hal yang seharusnya tidak harus terjadi jika kita sebagai penerus bangs dapat lebih giat untuk mencari ilmu guna menunjang pengolahan potensi alam Indonesia.
Cagar alam yang seharusnya dapat sebagai penyangga system kehidupan, tidak dijalankan sebagaimana mestinya karena kepentingan manusia itu sendiri. Akibatnya kerusakan hayati banyak terjadi, jika kesetimbangan alam sudah hilang akibatnya banyak terjadi bencana yang menimpa bangsa ini. Banjir di musim penghujan, kekeringan dimusim kemarau kini telah menjadi hal yang biasa di umi pertiwi ini
PENTINGNYA TAKSONOMI DAN KONSERVASI TERHADAP BIODIVERSITAS INDONESIA
Indonesia sebagai salah satu dari tiga negara megabiodiversity memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, terdiri dari 11 persen spesies tumbuhan dunia, 10 persen spesies mamalia, dan 16 persen spesies burung (World Resources,2000-2001 dalam FWI dan GFW, 2001). Indonesia adalah negara subur makmur, disinari matahari sepanjang tahun dan curah hujan yang cukup, namun tidak memiliki prestasi dalam aspek produk dan iptek berbasis sumber daya hayati. Sangat ironis nampaknya, padahal sangat banyak potensi yang dapat di peroleh dari suber daya hayati Indonesia.
Potensi Biodiversitas Indonesia
Sebagai gambaran kasar tentang potensi biodiversitas dalam hal ini hanya dibahas beberapa contoh, misalnya jamur (cendawan) dan mangrove.
Jamur
Secara umum jamur adalah sebagai bahan pangan bergizi tinggi namun beberapa jenis bahkan ada yang berkhasiat obat dan sebagai bahan nutrisitika. Jamur yang terbesar diproduksi di seluruh dunia saat ini adalah champignon (Agaricus), Tiram (Pleurotus) dan Shiitake. Diantara negara-negara produsen jamur di dunia, China adalah produsen jamur terbesar terutama jamur eksotik seperti Shiitake (Aryantha, 2005).
Tahun 2004 pasar ekspor jamur China sudah mencapai 137 negara di dunia dengan nilai ekspor mencapai US$800 juta. Indonesia, meskipun merupakan negara dengan biodiversitas darat nomor 2 di dunia dengan iklim yang ideal, bahan baku berlimpah dan jumlah tenaga kerja yang besar, masih mengimpor jamur dari China dengan nilai 55,5 miliar rupiah per tahun. Sementara, data BPS menginformasikan bahwa nilai ekspor jamur Indonesia dalam periode 2000-2003 hanya berkisar di bawah 4 juta $US per tahun (Dimyati, 2005).
Jamur dikenal memiliki nilai nutrisi yang sangat baik sebagai bahan pangan. Korelasi tingkat kesehatan masayarakat dan umur harapan hidup masyarakat tampak ada kaitan dengan tingkat konsumsi jamur. Jepang termasuk bangsa yang memiliki harapan hidup paling tinggi di Asia (di atas 80 tahun) adalah pengkonsumsi jamur yang sangat besar, yang pada tahun 2000 mencapai 109.281 ton untuk jamur Shiitake sajaTercatat pada tahun 2004 Jepang mengimpor jamur dari China sebesar 87.722.085 kg dengan nilai U$ 263.106.855 (Tabel-6). Meskipun termasuk penghasil jamur yang besar juga, namun karena tingginya tingkat konsumsi jamur masyarakat Jepang, tidaklah mengherankan Jepang merupakan negara pengimpor jamur terbesar dari China. Tingginya animo masyarakat Jepang dalam mengkonsumsi jamur terutama Shiitake adalah karena keberadaan nilai gizi dan potensi kesehatan jamur Shiitake termasuk sebagai anti kanker (Yap, et al., 2004 dan Kumar & Lee, 2004).
Berbagai jenis jamur lokal memiliki potensi tinggi untuk dikembangkan sebagai produk pangan dan nutrisitika. Salah jenis jamur yang dibudidayakan dan kembangkan sampai menjadi produk adalah dari jenis Ganoderma tropicum (Aryantha, 2005). Jamur ini telah dibandingkan kandungan senyawa aktifnya dengan jamur Ganoderma lucidum asal China, ternyata memiliki kadar yang tidak berbeda bahkan untuk senyawa triterpen tertentu cenderung lebih tinggi.
Mangrove
Manfaat utama hutan mangrove di kawasan pesisirdan estuaria adalah untuk mencegah erosi, penahan ombak, penahan angin, perangkap sedimen dan penahan
intrusi air asin dari laut. Peranan vegetasi mangrove di dalam lingkungan biologi adalah sebagai tempat pemijahan dan sebagai tempat asuhan bagi ikan dan biota laut serta habitat berbagai jenis burung (Sukardjo, 1985).
Secara fisik hutan mangrove berfungsi sebagaiperedam hempasan gelombang. Sistem perakarannyadapat berperan sebagai perangkap sediment dan pemecah gelombang. Hal ini dapat terjadi apabila didukung oleh formasi hutan mangrove yang belum terganggu atau kondisinya masih alami. Kerapatan hutan mangrove yang cenderung menurun maka fungsinya sebagai peredam gelombang juga akan cenderung menurun (Tjardhana dan Purwanto, 1995). Sistem perakaran mangrove dapat mengikat dan menstabilkan substrat di garis pantai sehingga garis pantai tetap stabil, akibatnya badan pantai akan terus meninggi. Penanaman dan perlindungan mangrove merupakan salah satu sistem pelindung kestabilan garis pantai secara alami agar tidak mengalami abrasi sehingga akan mendukung proses ekologi di kawasan pesisir. Menurut Davie dan Sumardja (1997), gelombang dan arus pada daerah pantai dapat menyebabkan abrasi dan perubahan struktur hutan pantai di kawasan pesisir. Gilman et al. (2006) menambahkan, hutan mangrove dapat menjaga kestabilan garis pantai dari hantaman gelombang, sehingga pantai tidak terjadi erosi yang disebabkan oleh pasang surut dan gelombang.
Vegetasi mangrove di kawasan penelitian pesisir timur Aceh disusun oleh 11 jenis. Keragaman jenis mangrove pada tahap pertumbuhan pohon dan pancang tergolong rendah, sedangkan semai tergolong sedang. R. mucronata lebih mendominasi kawasan penelitian pada tiga tahapan pertumbuhan mangrove. Tegakan mangrove di kawasan penelitian mampu memecahkan gelombang tsunami hingga 5 m (Suryawan Feri,2007).
Contoh pemanfaatan biodiversitas lain yang terkait dalam pemenuhan kebutuhan pokok manusia adalah dalam dunia pertanian dan perkebunan.
Penyebab penurunan dan kerusakan biodiversitas
Salah satu penurunan biodiversitas adalah karena adanya invansi besar dari suatu spesies yang mangakibatkan penurunan dan kepunahan komoditas spesies yang lain. Dalm jurnalnya (Haryanto, 1997) meneliti invansi langkap (Arenga obtusifolia) di Taman Nasional Ujung kulon, hasilnya secara nyata akan menurunkan keanekaragaman hayati, baik tumbuhan maupun satwa liar.
Kerusakan yang di lakukan oleh manusia itu sendiri, akibat dari keserakahannya gun memenuhhi kebutuhan hidup. Yang marak sekali terjadi adalah perambahan hutan yang tidak terkendali, misalnya yang terjadi di pulau di Kalimantan dan Sumatra. (Musfarayani, 2007) kerusakan hutan dikalimantan mencapai 5 juta ha (data ini diambil dari Kepala BadanPengelola dan Pelestari Lingkungan Hidup Daerah (BPPLHD), Kalimantan Tengah) di estimasikan akibat kerusakan tersebut terjadi penurunan salah satu jenis spesies yang dalam hal ini adalah orang hutan yang tingkat penurunannya mencapai 1000 ekor.
Penyebab lainya adalah bencana alam yang terjadi secara alami, pencemaran/polusi tanah perairan maupun udara. Eksploitasi jenis tertentu secara besar-besaran yang mengakibatkan kerusakan pada daerah tertentu.
Manfaat konservasi dan pentingnya taksonomi dalam biodiversitas
Untuk mempermudah mempelajari biodiversitas tumbuhan Indonesia diperlukaan adanya pengklasifikasian. Yang di maksudkan agar biodiversitas dapat dimanfaatkan seefektif mungkin, Salah satunya adalah dengan konservasi. Konservasi bertujuan agar biodiversitas tidak mengalami kerusakan yang mengakibatkan rusaknya suatu ekosistem ataupun punahnya suatu spesies. Kerusakan biodiversitas dapat juga berpengaruh pada manusia, seperti kelaparan, gizi buruk, kematian manusia akibat diterkam (dimakan) oleh binatang buas yang ekosistemnya telah dirusak oleh manusia itu sendiri dan lain-lain. Laporan media masa mengatakan bahwa lebih dari 50% orang Indonesia adalah mengalami kelaparan terselubung istilah lain dari kekurangan gizi (http://www.kbi. gemari.or.id).
Salah satu upaya konservasi adalah dengan didirikan cagar alam. Cagar alam sebagai salah satu kawasan konservasi memiliki fungsi pokok sebagai pengawetan keanekaragaman hayati dan wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan. Perlindungan cagar alam banyak mengalami hambatan yang disebabkan oleh pembatasan akses, sehingga memicu konflik kepentingan antara pengelola kawasan dengan penduduk (Yunus, 2005).
Konservasi yang kuat didengungkan sekarang ini, sangat membutuhkan peran ahli takson, selain kebutuhan identifikasi taksonomi juga menyediakan reliable data tentang spesies terbaru, menyediakan data terbaru mengenai informasi habitat, distribusi dan kelimpahan serta tentunya tren populasi sepanjang waktu tertentu.
Kenyataannya, taksonomi telah mengalami impedensi (kendala), dimana terdapat hambatan dan tantangan, yang jika tidak diatasi akan membuat taksonomi tidak mampu menjalankan fungsinya. Kurangnya pendanaan, kecenderungan isunya tidak semenarik isu konservasi lainnya, menyebabkan regenerasi di dunia taksonom menjadi lambat. Selain itu, akses ke deskripsi asli dari spesimen-spesimen sangat kurang, belum lagi permasalahan terkait besarnya biaya yang dibutuhkan untuk koleksi lapangan dan lain sebagainya.
Beberapa hal yang dilakukan selama ini untuk “mengakali” penalahan yang dalam dari sisi taksonomi, cenderung membuat usaha-usaha konservasi mengalami insuficien infromasi, karena tidak mampu menjelaskan secara detail suatu spesies dan terutama fungsinya di ekosistem, terutama yang dilakukan oleh “parataxonomist’. Demikian pula teknik yang lebih modern melalui DNA “bar-coding”, teknik ini pun membutuhkan pengumpulan data lapangan dan ini berarti juga membutuhkan dana yang besar.
Kurangnya perhatian terhadap taksonomi juga terlihat jelas dalam dunia keilmuwan itu sendiri. Hal yang menyedihkan adalah dalam jurnal-jurnal ilmiah yang besar sekalipun hanya 1% jurnal yang mencover penelitian dari SEA (salah satu pusat dari negara berkembang, dengan keanekaragaman spesies paling besar), dan dari sekian banyak jurnal ilmiah ternama, rata-rata hanya 1 jurnal/tulisan yang membahas tentang spesies/temuan baru (Anonim.2009).
Meskipun semua orang tahu bahwa permasalahan pemenuhan kebutuhan dasar hidup manusia adalah pangan dan sandang, yang tiada lain adalah berasal dari keragaman sumber daya hayati (BIODIVERSITAS) namun masih jarang sekali orang yang tertarik untuk menekuni ilmu taksonomi.
PENUTUP
Pengelolaan biodiversitas (sumber daya hayati) lokal adalah mendesak untuk dilakukan guna memperoleh nilai kemanfaatan yang maksimal untuk kemaslahatan umat manusia secara berkesinambungan. Dalam pengelolaan biodiversitas perguruan tinggi setempat wajib mengambil peran secara proaktif dengan menggandeng semua pihak terkait. Para dosen / peneliti dengan dukungan institusi dan secara institusional semestinya menggunakan strategi penelitian dan pengembangan dengan pendekatan hulu-hilir dengan menjadikan kampus sebagai role of model dalam rangka komersialisasi produk iptek yang dihasilkan. Komersialisasi hasil penelitian dan pengembangan secara optimal akan memberikan output yang signifikan terhadap keberlangsungan aktivitas riset secara mandiri dan berkelanjutan. Disamping itu, para peneliti akan memperoleh reward dan recognition yang memadai dari hasil-hasil penelitian yang berhasil dilisensikan. Materi kuliahpun dapat diperkaya dari hasil-hasil R&D dan akan memotovasi dan menumbuhkan jiwa-jiwa kewirausahaan di kalangan mahasiswa.
Profesi peneliti dan taksonom akan semakin diminati di masyarakat sehingga dapat mempercepat proses kemajuan iptek di negeri ini. Interaksi antara laboratorium kampus dengan masayarakat industri akan semakin intens. Dari interaksi yang intens ini diharapkan dapat memperkuat usaha-usaha kecil menengah bahkan melahirkan perusahaan-perusahaan baru dalam menopang kemandirian industri. Akhirnya, perekonomian yang mandiri, stabil dan kuat akan tercipta sebagai sarana untuk mencapai cita-cita bangsa yakni masyarakat adil dan makmur.
DAFTAR PUSTAKA
Anomin,2009. Taksonomi penting bagi konservasi. http://www.goblue.or.id/taksonomi-penting-bagi konservasi/ 2juni 2009
Aryantha, I.P., 2005, Pengembangan produk kesehatan dari Shiitake, Prosiding Lokakarya Pengembangan Prpoduk Dan Industri Jamur Pangan, BPPT Jakarta 1-2 Agustus 2005
Davie, J. dan E. Sumardja. 1997. The mangrove of East Java: an analysis of impact of pond aquaculture on biodiversity and coastal ecological. Tropical Biodiversity 4(1):1-33.
Dimyati, A., 2005, Kebijakan Deptan dalam Pengembangan Jamur Pangan, Praworkshop Pengembangan Produk dan Industri Jamur Pangan Indonesia, BPPT Jakarta, 1-2 Agustus 2005.
Gilman, E, J. Ellison, and R. Coleman. 2006. Pacific island mangroves in a changing climate and rising sea. United Nation Environment Program and Secretariat of thePacific Regional Environment Program. Regional SeasReports and Studies No. 179: 1-58.
Haryanto.1997. Invasi langkap (arenga obtusifolia) dan Dampaknya terhadap keanekaragaman hayati di taman nasional ujung kulon, jawa barat. Media Konservasi Edisi Khusus, Hal. 95 -100
Musfarayani, 2007. Lima Juta Hektar Hutan Kalteng Rusak, 1.000 Orangutan Kalimantan Musnah. Kahiyu. Volume II - No. 2
Sukardjo, S., 1985. Laguna dan vegetasi mangrove. Oseana 10 (4):128-137.
Suyawan .F. 2007. Keanekaragaman Vegetasi Mangrove Pasca Tsunami diKawasan Pesisir Pantai Timur Nangroe Aceh Darussalam. B I O D I V E R S I T A S jurusan biologi FMIPA Universitas Syiah Kuala (UNSYIAH), Banda Aceh. Volume 8, Nomor 4 Halaman: 262-265
Tjardhana dan E. Purwanto. 1995. Hutan mangrove Indonesia.Duta Rimba 21: 2-17.
Yap, A.T., S. K. Chandramohan, M. L. N. Mary, 2004, Partially Purified Lentinam from Shiitake Mushroom (Lentinusedodes) still Retain Antitumour Activity, http://www.mushworld.com/medicine/list.asp?cata_id=6500
Yunus, L.2005. “Simbiosis Mutualisme: Masyarakat dan Kawasan CagarAlam.” Prosiding Seminar Nasional Membangun Teluk Bintuni Berbasis Sumberdaya Alam: pp 75-85
0 komentar:
Posting Komentar