Rabu, 23 Desember 2009

| |
0 komentar

Makalah Limbah Udang

POTENSI LIMBAH UDANG SEBAGAI PENYERAP LOGAM BERAT (TIMBAL, KADMIUM, DAN TEMBAGA) DI PERAIRAN
Abstrak
Pencemaran lingkungan perairan yang disebabkan oleh logam-logam berat seperti kadmium, timbal dan tembaga yang berasal dari limbah industri sudah lama diketahui. Untuk menghilangkan bahan pencemar perairan tersebut hingga kini masih terus dikembangkan. Penggunaan biomaterial merupakan salah satu teknologi yang dapat dipertimbangkan, mengingat meterialnya mudah didapatkan dan membutuhkan biaya yang realtif murah sebagai bahan penyerap senyawa beracun dalam air limbah.
Limbah udang yang berupa kulit, kepala, dan ekor dengan mudah didapatkan mengandung senyawa kimia berupa khitin dan khitosan. Senyawa ini dapat diolah dan dimanfaatkan sebagai bahan penyerap logam-logam berat yang dihasilkan oleh limbah industri. Hal ini dimungkinkan karena senyawa khitin dan khitosan mempunyai sifat sebagai bahan pengemulsi koagulasi, reaktifitas kimia yang tinggi dan menyebabkan sifat polielektrolit kation sehingga dapat berperan sebagai penukar ion (ion exchanger) dan dapat berpungsi sebagai absorben terhadap logam berat dalam air limbah.
Pendahuluan
Pembangunan yang pesat dibidang ekonomi disatu sisi akan meningkatkan kualitas hidup manusia, yaitu dengan meningkatnya pendapatan masyarakat, tetapi di sisi lain akan berakibat pada penurunan kesehatan akibat adanya pencemaran yang berasal dari limbah industri dan rumahtangga. Hal ini karena kurangnya atau tidak memadainya fasilitas atau peralatan untuk menangani dan mengelola limbah tersebut.
Salah satu pencemaran pada badan air adalah masuknya logam berat. Peningkatan kadar logam berat di dalam perairan akan diikuti oleh peningkatan kadar zat tersebut dalam organisme air seperti kerang, rumput laut dan biota laut lainnya. Pemanfatan organisme ini sebagai bahan makanan akan membahayakan kesehatan manusia.
Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan maka berkembang pulalah industri-industri. Akibatnya lingkungan menjadi salah satu sasaran pencemaran, terutama sekali lingkungan perairan yang sudah pasti terganggu oleh adanya limbah industri, baik industri pertanian maupun industri pertambangan. Kebanyakan dari limbah itu biasanya dibuang begitu saja tanpa pengolahan terlebih dahulu.
Berbagai metode seperti penukar ion, penyerapan dengan karbon aktif (Rama, 1990) dan pengendapan secara elektrolisis telah dilakukan untuk menyerap bahan pencemar beracun dari limbah, tetapi cara ini membutuhkan biaya yang sangat tinggi dalam pengoperasiannya. Penggunaan bahan biomaterial sebagai penyerap ion logam berat merupakan alternatif yang memberikan harapan. Sejumlah biomaterial seperti lumut (Low et al., 1977), daun teh (Tan dan Majid, 1989), sekam padi (Munaf , 1997), dan sabut kelapa sawit (Munaf, 1999), begitu juga dari bahan non biomaterial seperti perlit, tanah gambut, lumpur aktif dan lain-lain telah digunakan sebagai bahan penyerap logam-logam berat dalam air limbah.
Kulit udang yang mengandung senyawa kimia khitin dan khitosan merupakan limbah yang mudah didapat dan tersedia dalam jumlah yang banyak, yang selama ini belum termanfaatkan secara optimal.
Dengan adanya sifat-sifat khitin dan khitosan yang dihubungkan dengan gugus amino dan hidroksil yang terikat, maka menyebabkan khitin dan khitosan mempunyai reaktifitas kimia yang tinggi dan menyebabkan sifat polielektrolit kation sehingga dapat berperan sebagai penukar ion (ion exchanger) dan dapat berperan sebagai absorben terhadap logam berat dalam air limbah ( Hirano, 1986). Karena berperan sebagai penukar ion dan sebagai absorben maka khitin dan khitosan dari limbah udang berpotensi dalam memcahkan masalah pencemaran lingkungan perairan dengan penyerapan yang lebih murah dan bahannya mudah didapatkan.
Limbah Udang sebagai Material Penyerap Logam Berat
Sebagian besar limbah udang berasal dari kulit, kepala, dan ekornya. Fungsi kulit udang tersebut pada hewan udang (hewan golongan invertebrata) yaitu sebagai pelindung (Neely dan Wiliam, 1969). Kulit udang mengandung protein (25 % - 40%), kalsium karbonat (45% - 50%), dan khitin (15% - 20%), tetapi besarnya kandungan komponen tersebut tergantung pada jenis udangnya. sedangkan kulit kepiting mengandung protein (15,60% - 23,90%), kalsium karbonat (53,70 – 78,40%), dan khitin (18,70% - 32,20%), hal ini juga tergantung pada jenis kepiting dan tempat hidupnya (Focher et al., 1992)
Kandungan khitin dalam kulit udang lebih sedikit dari kulit kepiting, tetapi kulit udang lebih mudah didapat dan tersedia dalam jumlah yang banyak sebagai limbah.
Khitin berasal dari bahasa Yunani yang berarti baju rantai besi, pertama kali diteliti oleh Bracanot pada tahun 1811 dalam residu ekstrak jamur yang dinamakan fungiue. Pada tahun 1823 Odins mengisolasi suatu senyawa kutikula serangga janis ekstra yang disebut dengan nama khitin (Neely dan Wiliam, 1969). Khitin merupakan konstituen organik yang sangat penting pada hewan golongan orthopoda, annelida, molusca, corlengterfa, dan nematoda. Khitin biasanya berkonyugasi dengan protein dan tidak hanya terdapat pada kulit dan kerangkanya saja, tetapi juga terdapat pada trachea, insang, dinding usus, dan pada bagian dalam kulit pada cumi-cumi (Neely dan Wiliam, 1969). Adanya khitin dapat dideteksi dengan reaksi warna Van Wesslink. Pada cara ini khitin direaksikan dengan I2-KI yang memberikan warna coklat, kemudian jika ditambahkan asam sulfat berubah warnanya menjadi violet. Perubahan warna dari coklat hingga menjadi violet menunjukan reaksi positif adanya khitin.
Khitin termasuk golongan polisakarida yang mempunyai berat molekul tinggi dan merupakan melekul polimer berantai lurus dengan nama lain b-(1-4)-2-asetamida-2-dioksi-D-glukosa (N-asetil-D-Glukosamin) (Hirano, 1986; Tokura, 1995). Struktur khitin sama dengan selulosa dimana ikatan yang terjadi antara monomernya terangkai dengan ikatan glikosida pada posisi b-(1-4). Perbedaannya dengan selulosa adalah gugus hidroksil yang terikat pada atom karbon yang kedua pada khitin diganti oleh gugus asetamida (NHCOCH2) sehingga khitin menjadi sebuah polimer berunit N-asetilglukosamin (The Merck Indek, 1976).
Khitin mempunyai rumus molekul C18H26N2O10 (Hirano, 1976) merupakan zat padat yang tak berbentuk (amorphous), tak larut dalam air, asam anorganik encer, alkali encer dan pekat, alkohol, dan pelarut organik lainnya tetapi larut dalam asam-asam mineral yang pekat. Khitin kurang larut dibandingkan dengan selulosa dan merupakan N-glukosamin yang terdeasetilasi sedikit, sedangkan khitosan adalah khitin yang terdeasetilasi sebanyak mungkin.
Khitosan yang disebut juga dengan b-1,4-2 amino-2-dioksi-D-glukosa merupakan turunan dari khitin melalui proses deasetilasi. Khitosan juga merupakan suatu polimer multifungsi karena mengandung tiga jenis gugus fungsi yaitu asam amino, gugus hidroksil primer dan skunder. Adanya gugus fungsi ini menyebabkan khitosan mempunyai kreatifitas kimia yang tinggi (Tokura, 1995).
Khitosan merupakan senyawa yang tidak larut dalam air, larutan basa kuat, sedikit larut dalam HCl dan HNO3, dan H3 PO4, dan tidak larut dalam H2SO4. Khitosan tidak beracun, mudah mengalami biodegradasi dan bersifat polielektrolitik (Hirano, 1986). Disamping itu khitosan dapat dengan mudah berinteraksi dengan zat-zat organik lainnya seperti protein. Oleh karena itu, khitosan relatif lebih banyak digunakan pada berbagai bidang industri terapan dan induistri kesehatan (Muzzarelli, 1986)
Saat ini budi daya udang dengan tambak telah berkembang dengan pesat, karena udang merupakan komoditi ekspor yang dapat dihandalkan dalam meningkatkan ekspor non -migas dan merupakan salah satu jenis biota laut yang bernilai ekonomis tinggi. Udang di Indonesia pada umumnya diekspor dalam bentuk udang beku yang telah dibuang bagian kepala, kulit, dan ekornya.
Limbah yang dihasilkan dari proses pembekuan udang, pengalengan udang, dan pengolahan kerupuk udang berkisar antara 30% - 75% dari berat udang. Dengan demikian jumlah bagian yang terbuang dari usaha pengolahan udang cukup tinggi (Anonim, 1994). Limbah kulit udang mengandung konstituen utama yang terdiri dari protein, kalsium karbonat, khitin, pigmen, abu, dan lain-lain (Anonim, 1994)
Meningkatnya jumlah limbah udang masih merupakan masalah yang perlu dicarikan upaya pemanfaatannya. Hal ini bukan saja memberikan nilai tambah pada usaha pengolahan udang, akan tetapi juga dapat menanggulangi masalah pencemaran lingkungan yang ditimbulkan, terutama masalah bau yang dikeluarkan serta estetika lingkungan yang kurang bagus (Manjang, 1993).
Saat ini di Indonesia sebagian kecil dari limbah udang sudah termanfaatkan dalam hal pembuatan kerupuk udang, petis, terasi, dan bahan pencampur pakan ternak. Sedangkan di negara maju seperti Amerika Serikat dan Jepang, limbah udang telah dimanfaatkan di dalam industri sebagai bahan dasar pembuatan khitin dan khitosan. Manfaatnya di berbagai industri modern banyak sekali seperti industri farmasi, biokimia, bioteknologi, biomedikal, pangan, kertas, tekstil, pertanian, dan kesehatan. Khitin dan khitosan serta turunannya mempunyai sifat sebagai bahan pengemulsi koagulasi dan penebal emulsi (Lang, 1995).
Isolasi khitin dari limbah kulit udang dilakukan secara bertahap yaitu tahap pemisahan protein (deproteinasi) dengan larutan basa, demineralisasi, tahap pemutihan (bleancing) dengan aseton dan natrium hipoklorit. Sedangkan transformasi khitin menjadi khitosan dilakukan tahap deasetilasi dengan basa berkonsentrasi tinggi, seperti terlihat pada gambar 1 (Ferrer et al., 1996; Arreneuz, 1996., dan Fahmi, 1997)
Khitin dan khitosan yang diperoleh dari limbah kulit udang digunakan sebagai absorben untuk menyerap ion kadmium, tembaga, dan timbal dengan cara dinamis dengan mengatur kondisi penyerapan sehingga air yang dibuang ke lingkungan menjadi air yang bebas dari ion-ion logam berat. Mengingat besarnya manfaat dari senyawa khitin dan khitosan serta tersedianya bahan baku yang banyak dan mudah didapatkan maka perlu pengkajian dan pengembangan dari limbah ini sebagai bahan penyerap terhadap logam-logam berat diperairan.
Read More